CERITA YANG TAK BERUJUNG
Pada zaman dahulu kala hidup seorang Raja yang bijaksana, baik dan
suka membantu rakyatnya. Salah satu kegemaran Raja ini ialah suka
mendengarkan orang bercerita. Raja sudah sering kali mendengarkan cerita
dari ahli-ahli istana yang bisa bercerita dan Raja pun menjadi Bosan.
Seminggu berlalu…
Ketika Raja dan para permaisurinya sedang berkumpul di Balkon kerajaan,
Raja mendapat ide. “Barang siapa yang bisa bercerita yang tak berujung,
akan aku beri hadiah, namun jika cerita itu berakhir dan ada ujungnya
maka ia akan saya masukkan ke dalam penjara” tegas Raja. Semua yang ada
di tempat itu pun terkejut akan kemauan Raja. “Tapi yang mulia bagaimana
caranya?” tanya Prajurit kerajaan. “Pikirkan sendiri!” kata Raja seraya
meninggalkan mereka di Balkon kerajaan.
Keesokan harinya para Prajurit kerajaan sibuk membagikan selembaran pengunguman.
AYO IKUTI SAYEMBARA DARI RAJA
Barang siapa yang bisa menceritakan
cerita yang tak berujung akan diberikan hadiah.
Sedangkan yang ceritanya berakhir akan dimasukkan
ke dalam penjara bawah tanah.
Note: pendaftaran di taman kerajaan
Berduyun-duyun masyarakat mendaftarkan diri. Siang.. menjadi.. sore.. dan sore pun menjadi.. malam. Sudah terdaftar 2000 orang.
Keesokan harinya para peserta akan mengambil nomor urut. Dan ketika
itu, para Prajurit kerajaan menegaskan bahwa yang ceritanya berakhir
maka ia akan dimasukkan ke dalam penjara seumur hidup!. Akhirnya dari
2000 yang mendaftar hanya ada 100 yang tersisa.
Seminggu berlalu.. akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Acara
itu dilaksanakan di Ballroom kerajaan. “Peserta pertama masuk!” kata
Prajurit kerajaan. Setelah 3 hari ceritannya pun berakhir. Peserta
kedua, ketiga, keempat, kelima, sampai peserta ke-99 pun ceritanya
berakhir dan masuk ke penjara seumur hidup.
Peserta ke-100 pun kebingungan. Sebut saja dia Pak Roib. Pak Roib pun
berkeliling kerajaan untuk mencari ide. Lalu ia mendengar suara tikus.
Ia mengintip suatu ruangan melalui jendela. Dan.. itu adalah gudang
penyimpanan gandum. “Wahh banyak sekali” kagum Pak Roib. Namun Pak Roib
melihat seekor tikus yang terus memakan gandum itu. Ketika si tikus
habis memakan satu karung datang lagi Prajurit kerajaan yang menampung
gandum yang telah dipanen ke dalam gudang tersebut. Jadi akan terus
bertambah. Akhirnya Pak Roib pun mendapat ide.
“Peserta ke-100 masuk!!” perintah Prajurit kerajaan. Lalu Pak Roib
pun masuk. “Kamu jangan kecewakan saya, karena kamu adalah orang
terakhir” kata Raja.
Pak Roib mulai bercerita.
“Pada zaman dahulu kala hidup seorang raja yang bijaksana dan baik hati.
Rakyatnya makmur dan semua kebutuhannya tercukupi. Di Istana Raja pun
hidup makmur. Gudang gandum pun selalu penuh dengan gandum yang telah
panen. Namun ada seekor tikus kecil yang terus memakan gandum itu. Tapi,
prajurit istana selalu memanen dan memasukkan lagi ke dalam gundang
gandum. Tapi tikus itu selalu memakannya dengan perlahan. Sebutir…
sebutir… sebutir.. sebutir…” kata Pak Roib. Namun setelah 1 minggu Pak
Roib hanya mengucapkan kata sebutir. Itu membuat Raja menjadi heran.
“STOP!!! Wahai Pak Roib mengapa engkau hanya menyebutkan kata sebutir?”
tanya Raja. “Karena tikus belum selesai memakan satu karung gandum” kata
Pak Roib. Lalu Pak Roib pun melanjutkan ceritanya. “Sebutir..
sebutir..” kata Pak Roib panjang lebar. “Baiklah Pak Roib, anda mampu
menceritakan cerita tanpa ujung. Kalau anda melanjutkan ceritanya, itu
tidak akan habis. Walaupun saya bosan namun, selamat anda berhasil
memenangkan sayembara ini. Dan ini ada hadiah dari saya.” kata Raja.
“Terima kasih Raja” kata Pak Roib terharu.
Akhirnya Pak Roib pulang dengan perasaan hati gembira sekaligus lelah.
SELESAI
Cerpen Karangan: Dita Zafira Tarmizi
Sabtu, 31 Mei 2014
CERPEN CINTA PERTAMA
MY FIRST LOVE
Hay, perkenalkan. Aku Gabby Fadilla, panggil saja Dilla. Hari ini hari pertamaku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Hey! Apa kau baik-baik saja?” Teriak seseorang. Aku tak mengenalnya. Tapi, mengapa dia menyapaku? Atau setidaknya menegurku?
Aku hanya mengangguk. Yap! Selama orangtuaku bercerai aku tak pernah berbicara. Ayah sangat kasar pada ibu, sehingga ibu meninggalkan ayah. Aku merasa terpuruk dengan keadaan itu hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak berbicara atau membuang kunci mulutku ke dasar laut.
“Sungguh indah pemandangan disini? Mengapa kau tak masuk? Semua -…” tak sempat ia melanjutkan kata-kata nya. Aku sudah duluan meninggalkan nya.
Akhirnya aku menemukan kelasku. Dengan segera aku menuju ke bangku deretan kedua dari belakang. Setelah aku menyimpan tas ku, aku segera duduk memperhatikan sekelilingku. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kebanyakan dari mereka menceritakan kehidupannya masing-masing.
“Hey, kita bertemu lagi!” Ucap pria yang tadi. Ia menyimpan tasnya di laci bangku sebelahku. Kemudian ia duduk.
Anak-anak pun segera duduk di bangku masing-masing karena guru sudah datang. Bu guru itu pun duduk lalu mengambil sebuah buku absen siswa dari tasnya.
“Sejak tadi, kita belum saling mengenal. Namaku Iqbaal” Mengulurkan tangannya, aku hanya terdiam menatap uluran tangannya
“Gabby fadillah!” Kata Bu guru yang ternyata sudah mulai sejak tadi mengabsen kami.
“Wahh, nama yang bagus -…”
Jantungku berdegup kencang, baru kali ini aku dipuji dengan cara memuji namaku.
“Kalau begitu aku panggil kau dengan nama Gabby saja”
Aku menggelengkan kepalaku, ia pun mengerti.
“Kalau Dilla?”
Akhirnya dia tahu, segera ku anggukan kepalaku pertanda iya.
Hari berlalu dengan cepat, kami sudah sangat dekat. Bahkan ada yang bilang bahwa kami itu bersaudara padahal jelas-jelas kami hanya sebagai sebatas sahabat. Tapi, aku menganggapnya lebih dari sahabat.
Hari ini cuaca mendung, tidak seperti biasanya aku pulang bareng Iqbaal. Aku meninggalkannya di kelas karena ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan kebetulan cuaca mendung. Segera kulangkahkan kakiku dengan cepat.
“Hey tunggu! Mengapa kau meninggalkanku!” Teriak Iqbaal, dari kejauhan. Lebih tepatnya di belakangku tapi cukup jauh.
Aku terhenti sejenak untuk menunggunya berjalan datang kepadaku.
Saat ia sudah di hadapanku, aku tersenyum melihat ke arah langit.
“Ohh mau hujan yah? Ya udah ayo jalan!” Kami pun melangkahkan kaki kami kembali.
Di tengah perjalanan, ia sedikit berbincang. Tiba-tiba ia menanyakan hal yang tidak pernah kuduga
“Bolehkan aku mendengar suaramu? Setidaknya satu kata saja” Aku kembali terhenti, menatapnya nanar. Sebenarnya aku ingin melakukannya tetapi tidak bisa.
“Aku -…” Ucapku, dengan suara sangat kecil sembari menunduk.
Ia tersenyum “Ayo, kamu mau bilang apa?”
“Aku menyukaimu!” Aku kaget dengan sendirinya, pipiku merah bagaikan tomat yang baru dipetik dari kebunnya. Aku membekap mulutku kemudian berlari.
“Akhirnya kau -…” Lirih Iqbaal
“Bodoh! Mengapa aku mengatakannya?” Perasaanku campur aduk. Senang bisa mengatakannya dan Sedih karna hal ini bisa menghancurkan persahabatanku.
Keesokan harinya, aku sengaja tak menunggunya saat pulang. Aku malu, sangat malu. Aku juga takut dia akan marah padaku akan hal yang kemarin.
Tanpa diduga-duga, dia kembali menghampiriku. Awalnya aku kira dia akan memarahiku, tapi ternyata dugaan ku salah besar.
Dia memelukku dan mengatakan “Aku juga menyukaimu. Aku cinta sama kamu! Kamu mau jadi pacarku?” Aku melepas dekapannya, lalu berkata “Aku mau” Dan aku pun kembali mendekapnya.
Dia adalah MY FIRST LOVE
Selesai
Cerpen Karangan: Yuni Afrianty Alfadilla
Hay, perkenalkan. Aku Gabby Fadilla, panggil saja Dilla. Hari ini hari pertamaku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Hey! Apa kau baik-baik saja?” Teriak seseorang. Aku tak mengenalnya. Tapi, mengapa dia menyapaku? Atau setidaknya menegurku?
Aku hanya mengangguk. Yap! Selama orangtuaku bercerai aku tak pernah berbicara. Ayah sangat kasar pada ibu, sehingga ibu meninggalkan ayah. Aku merasa terpuruk dengan keadaan itu hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak berbicara atau membuang kunci mulutku ke dasar laut.
“Sungguh indah pemandangan disini? Mengapa kau tak masuk? Semua -…” tak sempat ia melanjutkan kata-kata nya. Aku sudah duluan meninggalkan nya.
Akhirnya aku menemukan kelasku. Dengan segera aku menuju ke bangku deretan kedua dari belakang. Setelah aku menyimpan tas ku, aku segera duduk memperhatikan sekelilingku. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kebanyakan dari mereka menceritakan kehidupannya masing-masing.
“Hey, kita bertemu lagi!” Ucap pria yang tadi. Ia menyimpan tasnya di laci bangku sebelahku. Kemudian ia duduk.
Anak-anak pun segera duduk di bangku masing-masing karena guru sudah datang. Bu guru itu pun duduk lalu mengambil sebuah buku absen siswa dari tasnya.
“Sejak tadi, kita belum saling mengenal. Namaku Iqbaal” Mengulurkan tangannya, aku hanya terdiam menatap uluran tangannya
“Gabby fadillah!” Kata Bu guru yang ternyata sudah mulai sejak tadi mengabsen kami.
“Wahh, nama yang bagus -…”
Jantungku berdegup kencang, baru kali ini aku dipuji dengan cara memuji namaku.
“Kalau begitu aku panggil kau dengan nama Gabby saja”
Aku menggelengkan kepalaku, ia pun mengerti.
“Kalau Dilla?”
Akhirnya dia tahu, segera ku anggukan kepalaku pertanda iya.
Hari berlalu dengan cepat, kami sudah sangat dekat. Bahkan ada yang bilang bahwa kami itu bersaudara padahal jelas-jelas kami hanya sebagai sebatas sahabat. Tapi, aku menganggapnya lebih dari sahabat.
Hari ini cuaca mendung, tidak seperti biasanya aku pulang bareng Iqbaal. Aku meninggalkannya di kelas karena ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan kebetulan cuaca mendung. Segera kulangkahkan kakiku dengan cepat.
“Hey tunggu! Mengapa kau meninggalkanku!” Teriak Iqbaal, dari kejauhan. Lebih tepatnya di belakangku tapi cukup jauh.
Aku terhenti sejenak untuk menunggunya berjalan datang kepadaku.
Saat ia sudah di hadapanku, aku tersenyum melihat ke arah langit.
“Ohh mau hujan yah? Ya udah ayo jalan!” Kami pun melangkahkan kaki kami kembali.
Di tengah perjalanan, ia sedikit berbincang. Tiba-tiba ia menanyakan hal yang tidak pernah kuduga
“Bolehkan aku mendengar suaramu? Setidaknya satu kata saja” Aku kembali terhenti, menatapnya nanar. Sebenarnya aku ingin melakukannya tetapi tidak bisa.
“Aku -…” Ucapku, dengan suara sangat kecil sembari menunduk.
Ia tersenyum “Ayo, kamu mau bilang apa?”
“Aku menyukaimu!” Aku kaget dengan sendirinya, pipiku merah bagaikan tomat yang baru dipetik dari kebunnya. Aku membekap mulutku kemudian berlari.
“Akhirnya kau -…” Lirih Iqbaal
“Bodoh! Mengapa aku mengatakannya?” Perasaanku campur aduk. Senang bisa mengatakannya dan Sedih karna hal ini bisa menghancurkan persahabatanku.
Keesokan harinya, aku sengaja tak menunggunya saat pulang. Aku malu, sangat malu. Aku juga takut dia akan marah padaku akan hal yang kemarin.
Tanpa diduga-duga, dia kembali menghampiriku. Awalnya aku kira dia akan memarahiku, tapi ternyata dugaan ku salah besar.
Dia memelukku dan mengatakan “Aku juga menyukaimu. Aku cinta sama kamu! Kamu mau jadi pacarku?” Aku melepas dekapannya, lalu berkata “Aku mau” Dan aku pun kembali mendekapnya.
Dia adalah MY FIRST LOVE
Selesai
Cerpen Karangan: Yuni Afrianty Alfadilla
CERPEN CINTA ROMANTIS
KOTAK MUSIK
Detik jam terus berlalu, layaknya sang surya yang menampakkan kehangatannya tepat waktu. Dinginnya angin yang mencengkram mencoba membekukan perasaanku yang sedang asik mengitari keindahanmu. Rasanya baru kemarin aku mengenalmu, namun kau telah mampu menebak apa yang tersembunyi di balik isi hatiku. Tapi mengapa? Mengapa harus ku telan lagi pahit yang harus ku nikmati bertahun-tahun ini? Rasanya sungguh tak adil bagiku.
“Mengapa kau terus menatapku seperti itu?”, ia mencoba membuka percakapan. Menghilangkan keheningan di sela dinginnya gemercik air yang turun dari langit. Kulit tebal yang menyelimutiku rasanya kurang puas untuk membentengi tusukan-tusukan dingin yang menikam.
“Tidak apa-apa, aku hanya…”, kata-kataku terputus ketika ia bergegas mendekatiku. Mencoba membangun serangan-serangan untuk tetap membuatku hangat.
“Terima kasih”, ucapku pelan, ketika selembar jaket tipis mendarat di tubuhku, ia hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Kulihat jam yang melingkar di tanganku masih menunjukkan pukul 19.02. Adzan pun mulai menyentuh telinga dengan merdunya. Ku terus menikmati indahnya alunan rintik air hujan yang tak kunjung reda. Mungkin akan awet hujannya, pikirku. Aku pun mulai merangkai kata agar kebersamaan ini takkan membatu.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyaku dengan sedikit basa-basi.
“Baik”, jawabnya hambar.
“Kau sendiri bagaimana kabarmu?”, lanjutnya.
“Seperti biasa, baik-baik saja”, jawabku sambil memperhatikan tangannya yang sibuk merogoh tas yang dibawanya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan.
“Kau masih ingat dengan ini?”, sambil memperlihatkan sesuatu.
Deg. Sebuah kotak musik. Sepertinya benda itu tak asing bagiku. Sebuah benda yang mengingatkanku akan masa lalu. Masa lalu yang sempat membuat hatiku hancur lebur. Jika aku mengingat orang itu, ingin rasanya ku membunuhnya. Tidak, lebih tepat lagi membunuh harapan yang pernah ku bangun sedemikian rupa indahnya. Namun harapan itu pun pupus ketika seseorang itu merencanakan harapan baru dengan bidadari lain. Bidadari itu, sahabatku. Sakit, memang. Tapi, ya sudahlah. Itu sudah menjadi pilihannya. Pilihan yang mungkin akan merasa dirinya lebih baik untuk mewujudkan rajutan mimpi indahnya dengan sahabatku itu.
“Iya, memangnya kenapa?”, aku bertanya balik dengan sedikit mimik kesal.
“Eng.. Engga, gak papa”, jawabnya terbata-bata. Ingin rasanya ku akhiri saja pertemuan ini, tapi tiba-tiba rintik hujan pun semakin deras. Kenapa harus tercipta kenangan yang indah, namun menyisakan luka di hati? Mungkin memang sudah jalan takdirku seperti ini, aku membatin. Tak lama kemudian ia meneruskan kata-katanya.
“Aku merindukan ini. Aku juga merindukan seseorang yang memberikan benda ini padaku. Dan aku juga merindukan tempat ini. Tempat yang biasa ku kunjungi dengan kisah masa laluku”, katanya dengan lembut tanpa mengurangi rasa kehormatannya. Tapi itu sudah berlalu, lagipula kamu juga tak peduli bagaimana perasaanku saat kamu lebih memilih sahabatku daripada aku, aku memaki dalam hati. Kini aku sudah tak tau harus berkata apa. Aku sedikit tercengang mendengar ucapannya barusan. Seolah jantungku berhenti bekerja seperti biasanya. Aliran darahku berhenti mengalir. Oksigen yang masuk-keluar pun tak lagi berirama seindah biasanya. Mulutku terkunci rapat. Aku bergegas mencari kunci tersebut agar mulutku dapat terbuka dan mengucapkan beberapa kata. Tapi sayang, otakku tak dapat bekerja maksimal untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menangkis serangan mematikan yang ia berikan.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan?”, tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Untung saja udara disini dingin. Kalau tidak, mungkin aku sudah mandi keringat karena menahan rasa cemasku yang bercampur gugup ini.
“Emm, gak papa kok”, jawabku mengumpatkan sesuatu agar ia tak curiga. Akhirnya aku nekat membuka mulutku yang sedari tadi tertutup rapat.
“Aku kira kau telah membuangnya”, kataku sambil meraih kotak musik itu dari tangannya.
“Aku tidak akan pernah bisa membuangnya”, katanya dengan raut wajah menyesal.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran. Ia terdiam sejenak. Menghela nafas sambil melihat tampiasan air hujan yang jatuh dari atap. Atap sebuah rumah kayu yang pernah kami buat sebagai hari jadiku dengannya 3 tahun yang lalu.
“Aku selalu merindukan seseorang ketika ku buka kotak ini”, katanya sambil meraih kotak musik itu dari tanganku. Kali ini ia benar benar membuka kotak itu. Putri kecil nan mungil pun keluar dari sarangnya. Dengan nada-nada yang indah nan mendayu, alunan musik yang merdu, melodi-melodi yang menyentuh dinding hati itu pun sejenak mengheningkan sebuah percakapan klasik oleh dua insan. Bertepatan dengan itu, rintik hujan yang sedari tadi sudah akrab menemaniku, kini mulai berhenti.
“Aku merindukanmu”, ia melanjutkan kata-katanya.
Hatiku terpukul ketika ia mengatakan itu. Jelas, dia yang pernah kucintai setulus hati, tapi lebih memilih orang lain yang tak lain adalah sahabatku sendiri.
“Tapi, kamu sekarang kan kamu sudah milik Elena, sahabatku”, kataku dengan pasti.
“Kau takkan percaya ini bukan?”, dia bertanya memancingku untuk balik bertanya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku.
“Sebenarnya orangtua ku ingin menjodohkanku dengannya, tapi karena kami tak saling mencintai, aku pun putus hubungan dengannya.”, katanya dengan penuh penjelasan. Sepertinya kini aku tau kenapa ia merindukanku. Ia mencoba mendekatiku. Apa yang kau lakukan? Pikirku dalam hati.
“Calysta… Jujur, aku tak dapat membohongi perasaanku. Meskipun kita sudah lama putus hubungan, tapi aku masih menyayangimu. Hanya kotak musik ini yang dapat mengobati kerinduanku padamu”, kata-katanya serasa membelah langit yang tadinya hitam pekat menjadi cerah.
“Calysta, maukah kamu kembali lagi padaku?”, tak ku sangka ia akan menanyakan hal seperti itu. Jujur Rey, aku juga masih mencintaimu, bisikku dalam hati. Aku hanya mengangguk dengan tersenyum bahagia dan lepas dengan menyandarkan kepalaku di bahunya. Tak terasa pipiku basah terkena terpaan tetesan di balik kedua mataku. Aku menangis bahagia. Ya, aku menangis bahagia karenanya. Karena ternyata dia benar-benar memelukku dengan erat. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan pelukannya yang mampu membuat jiwaku tenang.
“Aku sayang padamu, Calysta”, ia berbisik tepat di telingaku.
“Aku juga sayang padamu, Rey”, kataku dengan senyuman penuh hangat.
Cerpen Karangan: Erlan TriAngga Yusuf
Detik jam terus berlalu, layaknya sang surya yang menampakkan kehangatannya tepat waktu. Dinginnya angin yang mencengkram mencoba membekukan perasaanku yang sedang asik mengitari keindahanmu. Rasanya baru kemarin aku mengenalmu, namun kau telah mampu menebak apa yang tersembunyi di balik isi hatiku. Tapi mengapa? Mengapa harus ku telan lagi pahit yang harus ku nikmati bertahun-tahun ini? Rasanya sungguh tak adil bagiku.
“Mengapa kau terus menatapku seperti itu?”, ia mencoba membuka percakapan. Menghilangkan keheningan di sela dinginnya gemercik air yang turun dari langit. Kulit tebal yang menyelimutiku rasanya kurang puas untuk membentengi tusukan-tusukan dingin yang menikam.
“Tidak apa-apa, aku hanya…”, kata-kataku terputus ketika ia bergegas mendekatiku. Mencoba membangun serangan-serangan untuk tetap membuatku hangat.
“Terima kasih”, ucapku pelan, ketika selembar jaket tipis mendarat di tubuhku, ia hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Kulihat jam yang melingkar di tanganku masih menunjukkan pukul 19.02. Adzan pun mulai menyentuh telinga dengan merdunya. Ku terus menikmati indahnya alunan rintik air hujan yang tak kunjung reda. Mungkin akan awet hujannya, pikirku. Aku pun mulai merangkai kata agar kebersamaan ini takkan membatu.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyaku dengan sedikit basa-basi.
“Baik”, jawabnya hambar.
“Kau sendiri bagaimana kabarmu?”, lanjutnya.
“Seperti biasa, baik-baik saja”, jawabku sambil memperhatikan tangannya yang sibuk merogoh tas yang dibawanya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan.
“Kau masih ingat dengan ini?”, sambil memperlihatkan sesuatu.
Deg. Sebuah kotak musik. Sepertinya benda itu tak asing bagiku. Sebuah benda yang mengingatkanku akan masa lalu. Masa lalu yang sempat membuat hatiku hancur lebur. Jika aku mengingat orang itu, ingin rasanya ku membunuhnya. Tidak, lebih tepat lagi membunuh harapan yang pernah ku bangun sedemikian rupa indahnya. Namun harapan itu pun pupus ketika seseorang itu merencanakan harapan baru dengan bidadari lain. Bidadari itu, sahabatku. Sakit, memang. Tapi, ya sudahlah. Itu sudah menjadi pilihannya. Pilihan yang mungkin akan merasa dirinya lebih baik untuk mewujudkan rajutan mimpi indahnya dengan sahabatku itu.
“Iya, memangnya kenapa?”, aku bertanya balik dengan sedikit mimik kesal.
“Eng.. Engga, gak papa”, jawabnya terbata-bata. Ingin rasanya ku akhiri saja pertemuan ini, tapi tiba-tiba rintik hujan pun semakin deras. Kenapa harus tercipta kenangan yang indah, namun menyisakan luka di hati? Mungkin memang sudah jalan takdirku seperti ini, aku membatin. Tak lama kemudian ia meneruskan kata-katanya.
“Aku merindukan ini. Aku juga merindukan seseorang yang memberikan benda ini padaku. Dan aku juga merindukan tempat ini. Tempat yang biasa ku kunjungi dengan kisah masa laluku”, katanya dengan lembut tanpa mengurangi rasa kehormatannya. Tapi itu sudah berlalu, lagipula kamu juga tak peduli bagaimana perasaanku saat kamu lebih memilih sahabatku daripada aku, aku memaki dalam hati. Kini aku sudah tak tau harus berkata apa. Aku sedikit tercengang mendengar ucapannya barusan. Seolah jantungku berhenti bekerja seperti biasanya. Aliran darahku berhenti mengalir. Oksigen yang masuk-keluar pun tak lagi berirama seindah biasanya. Mulutku terkunci rapat. Aku bergegas mencari kunci tersebut agar mulutku dapat terbuka dan mengucapkan beberapa kata. Tapi sayang, otakku tak dapat bekerja maksimal untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menangkis serangan mematikan yang ia berikan.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan?”, tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Untung saja udara disini dingin. Kalau tidak, mungkin aku sudah mandi keringat karena menahan rasa cemasku yang bercampur gugup ini.
“Emm, gak papa kok”, jawabku mengumpatkan sesuatu agar ia tak curiga. Akhirnya aku nekat membuka mulutku yang sedari tadi tertutup rapat.
“Aku kira kau telah membuangnya”, kataku sambil meraih kotak musik itu dari tangannya.
“Aku tidak akan pernah bisa membuangnya”, katanya dengan raut wajah menyesal.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran. Ia terdiam sejenak. Menghela nafas sambil melihat tampiasan air hujan yang jatuh dari atap. Atap sebuah rumah kayu yang pernah kami buat sebagai hari jadiku dengannya 3 tahun yang lalu.
“Aku selalu merindukan seseorang ketika ku buka kotak ini”, katanya sambil meraih kotak musik itu dari tanganku. Kali ini ia benar benar membuka kotak itu. Putri kecil nan mungil pun keluar dari sarangnya. Dengan nada-nada yang indah nan mendayu, alunan musik yang merdu, melodi-melodi yang menyentuh dinding hati itu pun sejenak mengheningkan sebuah percakapan klasik oleh dua insan. Bertepatan dengan itu, rintik hujan yang sedari tadi sudah akrab menemaniku, kini mulai berhenti.
“Aku merindukanmu”, ia melanjutkan kata-katanya.
Hatiku terpukul ketika ia mengatakan itu. Jelas, dia yang pernah kucintai setulus hati, tapi lebih memilih orang lain yang tak lain adalah sahabatku sendiri.
“Tapi, kamu sekarang kan kamu sudah milik Elena, sahabatku”, kataku dengan pasti.
“Kau takkan percaya ini bukan?”, dia bertanya memancingku untuk balik bertanya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku.
“Sebenarnya orangtua ku ingin menjodohkanku dengannya, tapi karena kami tak saling mencintai, aku pun putus hubungan dengannya.”, katanya dengan penuh penjelasan. Sepertinya kini aku tau kenapa ia merindukanku. Ia mencoba mendekatiku. Apa yang kau lakukan? Pikirku dalam hati.
“Calysta… Jujur, aku tak dapat membohongi perasaanku. Meskipun kita sudah lama putus hubungan, tapi aku masih menyayangimu. Hanya kotak musik ini yang dapat mengobati kerinduanku padamu”, kata-katanya serasa membelah langit yang tadinya hitam pekat menjadi cerah.
“Calysta, maukah kamu kembali lagi padaku?”, tak ku sangka ia akan menanyakan hal seperti itu. Jujur Rey, aku juga masih mencintaimu, bisikku dalam hati. Aku hanya mengangguk dengan tersenyum bahagia dan lepas dengan menyandarkan kepalaku di bahunya. Tak terasa pipiku basah terkena terpaan tetesan di balik kedua mataku. Aku menangis bahagia. Ya, aku menangis bahagia karenanya. Karena ternyata dia benar-benar memelukku dengan erat. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan pelukannya yang mampu membuat jiwaku tenang.
“Aku sayang padamu, Calysta”, ia berbisik tepat di telingaku.
“Aku juga sayang padamu, Rey”, kataku dengan senyuman penuh hangat.
Cerpen Karangan: Erlan TriAngga Yusuf
CERPEN CINTA SEGITIGA 2
INDAH PADA WAKTUNYA
“Siang malam kunanti sebuah keajaiban atas penantianku”
Ini adalah kisah tentang perjalanan kisah cintaku, aku adalah Nayla Wildania. Sekarang aku adalah seorang Manager di salah satu perusahaan di Kota Malang. Setelah 3 tahun aku tinggal di Palembang kini aku kembali ke kota asalku lahir. Suasana masih sama seperti dulu, terduduk dan terdiam dalam kamar kesayanganku itulah yang paling kurindukan. Suasana hujan menambah kesejukan sore itu. Kulihat deretan buku diary yang tersusun rapi di atas meja belajarku. Aku mulai membuka lembar demi lembar catatan yang terdapat di dalamnya. Sampai pada akhirnya tak terasa tetesan airmata membasahi pipi ini ketika ku kembali pada memori tentang cinta pertamaku yang tak pernah bisa tergantikan sampai saat ini meski 7 tahun telah berlalu. Aku selalu berharap untuk dapat kembali padanya tapi sepertinya Allah punya kehendak lain, tapi aku tak bisa mengingkari hati ini bahwa aku masih mencintainya.
“cinta kau tebarkan di hatiku rasa di hati kecilku”
Tujuh tahun yang lalu saat itu aku duduk kelas 11 SMA. Dia datang secara tiba-tiba sesuatu yang kuanggap tak mungkin menjadi kenyataan ketika sahabatku mengenalkan dia sebagai kakaknya, Dina tidak pernah mempertemukan tapi selalu menceritakan tentang dia yang membuatku semakin mengagumi dia. Setelah itu aku mulai mengenalnya, 17 mei aku pun memutuskan untuk menjalin cinta yang merupakan hal yang pertama untukku. Saat itu aku begitu bahagia meskipun sahabatku tidak menyetujui hubungan kami.
“Terima kasih untuk luka yang kau beri”
Akan tetapi kebahagiaanku akan cinta itu hanya berlangsung sekejap, dan mengubah duniaku seperti duri-duri yang menusuk setiap tubuh ketika harus kuhadapi kenyataan akan berakhirnya hubungan kami tepat 17 juni. Ku tak sanggup harus menghadapi kenyataan saat kutahu dia tak pernah menaruh hati untukku dan hanya ingin mencobaku. Setelah berakhir kisah cinta pertamaku aku mulai hidup dengan semangat tinggi hanya untuk meraih cita-citaku sampai aku tak pernah memikirkan cinta. Kini usiaku sudah 26 tahun dan aku masih menjadi diriku yang dulu dengan kepolosannya. Dering Hp menyadarkanku dari lamunan, sahabatku Dina dan Nia ingin bertemu dan mengadakan reuni antara kita bertiga.
Suasana kafe pada sore itu terlihat begitu ceria tentu saja ketika kita bertiga bersama maka akan terdengar celotehan dan becandaan yang membuat suasana semakin riuh. Nia dan Dina terheran melihat penampilanku yang telah berubah dari sorang Nayla yang tak bisa berdandan kini berubah menjadi wanita feminin yang membuat semua orang amnesia. Kegaduhan kita bertiga terpecah saat seorang pria datang yang membuat jantungku berdetak semakin kencang. Tampak Nia hanya tersenyum saat ia melihatku terdiam tanpa suara. Dina menyapa pria itu dengan sebutan Vicky. Pria itu adalah Vicky cinta pertamaku yang membuatku tak bisa move on. Terlihat dia menatapku begitu tajam hingga membuatku tak mampu berucap. Tujuh tahun diriku tak pernah melihatnya tapi aku masih bisa dengan jelas mengenalnya. Dia menanyakan diriku kepada Dina, dan Nia tertawa lalu ia mengenalkanku sebagai mantan pacarnya. Dia hanya heran karena dia punya begitu banyak. Lalu aku memperkenalkan diriku, saat kumulai menggegam tangannya serasa jantung ini berhenti karena ini pertama kalinya ku bisa menyentuh tangannya. Terlihat ia tersenyum kepadaku dan terheran melihat perubahanku.
“Dan upayaku tahu diri tak selamaya berhasil”
Beberapa saat kemudian Vicky dan Nayla duduk berduaan setelah ditinggal kedua sahabatnya pergi. Vicky memulai pembicaraan pada waktu itu ia menanyakan kabar dan statusku, aku jawab saja aku masih seperti dulu. Setelah panjang lebar kami mengobrol ia meminta nomor handphoneku dan alamat rumah.
Aku pun terdiam dan terengah-engah saat berada di dalam taxi yang membawa ku pergi, tak pernah kuduga bahwa semua harapan ku menjadi nyata utuk bertemu dengannya walau diri ini serasa tak sanggup. Sesampainya di rumah aku hanya bisa menetaskan airmata dengan memandang album tentangnya yang tertata rapi. Setelah beberapa menit kemudiaan sebuah sms ada di hpku. Saat kumulai membaca dan mengetahui sang pengirim aku hanya bisa tersenyum dengan tetesan airmata setelah sekian lama aku menunggu hanya untuk menerima sms darinya akhirnya hari itu aku mendapatkanya. Aku pun membalas pesan singkatnya, berlanjut dengan percakapan yang begitu panjang sampai pada akhirnya ia mengajakku utuk bertemu di taman kota pada minggu sore, kesempatan itu pun tak kusia-siakan.
“kembalilah kembalilah kurindu engkau disini”
Akhirnya hari itu tiba aku begitu bingung, sampai di taman kulihat dia menungguku dengan kemeja dan celana panjang serta topi yang membuatku tak bisa berucap betapa ku terpesona. Dia mulai menghampiriku dan menarik tanganku untuk melihat sebuah pertunjukan. Dengan rona wajah yang entah bagaimana jantungku berdegup kencang. Dia berkata ingin mengajakku melihat band SCAFT yang merupakan favoritnya. Dia telah menyiapkan 2 tiket untuk kami. Saat aku berdiri terlihat dia melindungiku dari banyak orang, dia tampak senang dan aku pun juga. Setelah melihat konser kami pun melanjutkan untuk dinner di sebuah café, disitu kami berbicara banyak tentang diri kita masing-masing. Saat aku bertanya kenapa dia tidak mengajak pacarnya, dia berkata bahwa kekasihnya sedang sibuk. Saat dia menyebut kekasih? Aku begitu sakit karena yang kutahu dia akan menyebut kekasih jika orang itu adalah yang paling ia cintai.
“aku masih belum beruntung untuk medapatkan hatimu”
Dan inilah akhir dari penantianku dan ternyata dia bukan untukku. Terdapat panggilan tak terjawab pada hp ku saat kulihat itu adalah dia. Lalu dia menelponku lagi saat aku menjawab terdengar suara lantangnya ia begitu tampak bahagia karena ia akan melamar kekasihnya, bagai tersambar petir hatiku begitu sakit aku hanya bisa berkata selamat. Dia meminta diriku untuk membantunya dalam menyiapkan kejutan untuk melamar kekasihnya itu bersama Dina. Saat ku bertanya kenapa harus aku? Karena dia menganggap bahwa dia begitu nyaman denganku walau baru saja berteman.
“cinta selalu menyakitkan”
Hari untuk melamar pun tiba, walaupun begitu sakit untukku tapi aku tetap harus tegar, Dina mengetahui apa yang aku rasakan. Saat Vicky akan pergi menemui kekasihnya dia begitu terkejut saat orang yang ia kasihi berdua bermesraan dengan laki-laki lain. Kami semua yang ada di tempat itu hanya bisa menghela napas panjang. Perkelahian pun tak terelakkan dan Vicky pun memutuskan kekasihnya itu serta pergi meninggalkan kami semua. Acara lamaran pun gagal dengan bersamaan hancur pula hati seorang pria.
Kejadiaan waktu itu pun telah berlalu tapi luka di dalam hati Vicky tak berubah. Untuk menghilangkan kepenatan dia mengajakku untuk pergi keluar saat kami sedang berjalan tiba-tiba jilbabku ditarik oleh seorang wanita dan wanita itu adalah mantan kekasihnya. Aku begitu malu ketika dia menyebutku sebagai perusak hubungan orang di depan umum, dengan bercucuran air mata aku pun berlari meninggalkan semua dan Vicky mengejarku tapi aku lebih dulu sampai dalam taxi.
Semenjak kejadiaan saat itu aku pun mulai menjauhi Vicky dan aku pun berfikir untuk tak boleh mencintainya lagi. Setiap hari ia menemuiku tapi aku selalu menghindar darinya saat dia menghubungiku aku hanya membalasnya singkat sikapku membuatnya bingung. Suatu hari ia datang ke rumahku dan meminta maaf atas kejadiaan saat itu ia juga berkata agar diriku tak menghindar darinya, semua akan baik-baik saja itulah yang ia katakan.
Perjalanan kami pun berlangsung ia sering bercerita tentang kehidupannya dan bigitu pula aku. Setiap hari kita selalu bertemu. Sampai pada suatu hari saat kami berada di Taman datang mantan kekasihnya kulihat mereka berbicara, aku pun begitu sakit saat sang wanita mengajak untuk balikan, wanita itu memeluk Vicky dan tatapan Vicky begitu dalam yang membuatku yakin bahwa Vicky masih menyayangi wanita itu. Aku pun pergi meninggalkan mereka berdua, sesampai di rumah akupun memutuskan untuk kembali ke Palembang karena di sini aku hanya mendapatkan luka yang tak pernah kering malah semakin memburuk. Tiket sudah di tangan esok paginya aku memutuskan pergi, teman-teamanku mengantarkanku ke bandara.
“tapi mengapa cinta datang terlambat”
Pesawatku telah terbang meninggalkan Vicky yang menyusul ke bandara tatapi semua itu telah terlambat. Nia menceritakan semua pada Vicky atas penyebab kepergiaanku lalu ia menunjukan sebuah diary yang berisi semua kisahku yang begitu cinta. Vicky meneteskan air mata saat tau ia telah menyia-nyiakan cinta tulus dari seorang wanita yang telah berharap begitu lama mendapatkan cinta. Vicky juga menyadari bahwa ia telah jatuh cinta
Satu tahun setelah kejadiaan itu aku kembali lagi untuk mengunjungi pernikahan Dina disana tak kulihat Vicky, aku pun berfikir pasti dia telah menikah dan hidup bahagia. Tak kuduga ternyata Vicky ada di sebelahku, aku tersenyum malu saat mata kita saling menatap.
“berakhir sudah pencariaan kisah cintaku diri ini tak lagi sepi kini aku tak sendiri”
“hay, kenapa baru kembali?”
“gak papa aku lebih enak disana… eh gimana dengan pernikahanmu?”
“nikah? wahahhaha… belum kok. Tapi sebentar lagi aku bakalan nyusul dina tapi aku masih nunggu dia kembali dan sekarang ia kembali…!!”
“selamet yah… aku turut bahagia.” “kamu gimana?” “aku? Gak tau orang yang aku mau udah mau nikah sih?” Vicky “mata kamu kok merah?” “eh… kelilipan. ngomong-ngomong calonmu ada disini?” “iyalah dia ada disini” “mana-mana aku mau kenalan”
Vicky denngan menatap tajam ke arahku “dia ada di depanku dan kulihat cinta dalam matanya yang selama ini aku sia-siakan, aku mencintaimu”
“aku…? Apaan sih becandanya lucu” “aku serius Vicky sayang Nayla… cinta Nayla dan akan menjaga hati ini Cuma buat Nayla”
Air mataku menetes deras dan aku hanya bisa berkata aku mencintaimu… Inilah cinta yang akan indah pada waktunya entah harus berapa banyak waktu tapi yakinlah semua akan indah.
TAMAT
Cerpen Karangan: Windi Hayati
“Siang malam kunanti sebuah keajaiban atas penantianku”
Ini adalah kisah tentang perjalanan kisah cintaku, aku adalah Nayla Wildania. Sekarang aku adalah seorang Manager di salah satu perusahaan di Kota Malang. Setelah 3 tahun aku tinggal di Palembang kini aku kembali ke kota asalku lahir. Suasana masih sama seperti dulu, terduduk dan terdiam dalam kamar kesayanganku itulah yang paling kurindukan. Suasana hujan menambah kesejukan sore itu. Kulihat deretan buku diary yang tersusun rapi di atas meja belajarku. Aku mulai membuka lembar demi lembar catatan yang terdapat di dalamnya. Sampai pada akhirnya tak terasa tetesan airmata membasahi pipi ini ketika ku kembali pada memori tentang cinta pertamaku yang tak pernah bisa tergantikan sampai saat ini meski 7 tahun telah berlalu. Aku selalu berharap untuk dapat kembali padanya tapi sepertinya Allah punya kehendak lain, tapi aku tak bisa mengingkari hati ini bahwa aku masih mencintainya.
“cinta kau tebarkan di hatiku rasa di hati kecilku”
Tujuh tahun yang lalu saat itu aku duduk kelas 11 SMA. Dia datang secara tiba-tiba sesuatu yang kuanggap tak mungkin menjadi kenyataan ketika sahabatku mengenalkan dia sebagai kakaknya, Dina tidak pernah mempertemukan tapi selalu menceritakan tentang dia yang membuatku semakin mengagumi dia. Setelah itu aku mulai mengenalnya, 17 mei aku pun memutuskan untuk menjalin cinta yang merupakan hal yang pertama untukku. Saat itu aku begitu bahagia meskipun sahabatku tidak menyetujui hubungan kami.
“Terima kasih untuk luka yang kau beri”
Akan tetapi kebahagiaanku akan cinta itu hanya berlangsung sekejap, dan mengubah duniaku seperti duri-duri yang menusuk setiap tubuh ketika harus kuhadapi kenyataan akan berakhirnya hubungan kami tepat 17 juni. Ku tak sanggup harus menghadapi kenyataan saat kutahu dia tak pernah menaruh hati untukku dan hanya ingin mencobaku. Setelah berakhir kisah cinta pertamaku aku mulai hidup dengan semangat tinggi hanya untuk meraih cita-citaku sampai aku tak pernah memikirkan cinta. Kini usiaku sudah 26 tahun dan aku masih menjadi diriku yang dulu dengan kepolosannya. Dering Hp menyadarkanku dari lamunan, sahabatku Dina dan Nia ingin bertemu dan mengadakan reuni antara kita bertiga.
Suasana kafe pada sore itu terlihat begitu ceria tentu saja ketika kita bertiga bersama maka akan terdengar celotehan dan becandaan yang membuat suasana semakin riuh. Nia dan Dina terheran melihat penampilanku yang telah berubah dari sorang Nayla yang tak bisa berdandan kini berubah menjadi wanita feminin yang membuat semua orang amnesia. Kegaduhan kita bertiga terpecah saat seorang pria datang yang membuat jantungku berdetak semakin kencang. Tampak Nia hanya tersenyum saat ia melihatku terdiam tanpa suara. Dina menyapa pria itu dengan sebutan Vicky. Pria itu adalah Vicky cinta pertamaku yang membuatku tak bisa move on. Terlihat dia menatapku begitu tajam hingga membuatku tak mampu berucap. Tujuh tahun diriku tak pernah melihatnya tapi aku masih bisa dengan jelas mengenalnya. Dia menanyakan diriku kepada Dina, dan Nia tertawa lalu ia mengenalkanku sebagai mantan pacarnya. Dia hanya heran karena dia punya begitu banyak. Lalu aku memperkenalkan diriku, saat kumulai menggegam tangannya serasa jantung ini berhenti karena ini pertama kalinya ku bisa menyentuh tangannya. Terlihat ia tersenyum kepadaku dan terheran melihat perubahanku.
“Dan upayaku tahu diri tak selamaya berhasil”
Beberapa saat kemudian Vicky dan Nayla duduk berduaan setelah ditinggal kedua sahabatnya pergi. Vicky memulai pembicaraan pada waktu itu ia menanyakan kabar dan statusku, aku jawab saja aku masih seperti dulu. Setelah panjang lebar kami mengobrol ia meminta nomor handphoneku dan alamat rumah.
Aku pun terdiam dan terengah-engah saat berada di dalam taxi yang membawa ku pergi, tak pernah kuduga bahwa semua harapan ku menjadi nyata utuk bertemu dengannya walau diri ini serasa tak sanggup. Sesampainya di rumah aku hanya bisa menetaskan airmata dengan memandang album tentangnya yang tertata rapi. Setelah beberapa menit kemudiaan sebuah sms ada di hpku. Saat kumulai membaca dan mengetahui sang pengirim aku hanya bisa tersenyum dengan tetesan airmata setelah sekian lama aku menunggu hanya untuk menerima sms darinya akhirnya hari itu aku mendapatkanya. Aku pun membalas pesan singkatnya, berlanjut dengan percakapan yang begitu panjang sampai pada akhirnya ia mengajakku utuk bertemu di taman kota pada minggu sore, kesempatan itu pun tak kusia-siakan.
“kembalilah kembalilah kurindu engkau disini”
Akhirnya hari itu tiba aku begitu bingung, sampai di taman kulihat dia menungguku dengan kemeja dan celana panjang serta topi yang membuatku tak bisa berucap betapa ku terpesona. Dia mulai menghampiriku dan menarik tanganku untuk melihat sebuah pertunjukan. Dengan rona wajah yang entah bagaimana jantungku berdegup kencang. Dia berkata ingin mengajakku melihat band SCAFT yang merupakan favoritnya. Dia telah menyiapkan 2 tiket untuk kami. Saat aku berdiri terlihat dia melindungiku dari banyak orang, dia tampak senang dan aku pun juga. Setelah melihat konser kami pun melanjutkan untuk dinner di sebuah café, disitu kami berbicara banyak tentang diri kita masing-masing. Saat aku bertanya kenapa dia tidak mengajak pacarnya, dia berkata bahwa kekasihnya sedang sibuk. Saat dia menyebut kekasih? Aku begitu sakit karena yang kutahu dia akan menyebut kekasih jika orang itu adalah yang paling ia cintai.
“aku masih belum beruntung untuk medapatkan hatimu”
Dan inilah akhir dari penantianku dan ternyata dia bukan untukku. Terdapat panggilan tak terjawab pada hp ku saat kulihat itu adalah dia. Lalu dia menelponku lagi saat aku menjawab terdengar suara lantangnya ia begitu tampak bahagia karena ia akan melamar kekasihnya, bagai tersambar petir hatiku begitu sakit aku hanya bisa berkata selamat. Dia meminta diriku untuk membantunya dalam menyiapkan kejutan untuk melamar kekasihnya itu bersama Dina. Saat ku bertanya kenapa harus aku? Karena dia menganggap bahwa dia begitu nyaman denganku walau baru saja berteman.
“cinta selalu menyakitkan”
Hari untuk melamar pun tiba, walaupun begitu sakit untukku tapi aku tetap harus tegar, Dina mengetahui apa yang aku rasakan. Saat Vicky akan pergi menemui kekasihnya dia begitu terkejut saat orang yang ia kasihi berdua bermesraan dengan laki-laki lain. Kami semua yang ada di tempat itu hanya bisa menghela napas panjang. Perkelahian pun tak terelakkan dan Vicky pun memutuskan kekasihnya itu serta pergi meninggalkan kami semua. Acara lamaran pun gagal dengan bersamaan hancur pula hati seorang pria.
Kejadiaan waktu itu pun telah berlalu tapi luka di dalam hati Vicky tak berubah. Untuk menghilangkan kepenatan dia mengajakku untuk pergi keluar saat kami sedang berjalan tiba-tiba jilbabku ditarik oleh seorang wanita dan wanita itu adalah mantan kekasihnya. Aku begitu malu ketika dia menyebutku sebagai perusak hubungan orang di depan umum, dengan bercucuran air mata aku pun berlari meninggalkan semua dan Vicky mengejarku tapi aku lebih dulu sampai dalam taxi.
Semenjak kejadiaan saat itu aku pun mulai menjauhi Vicky dan aku pun berfikir untuk tak boleh mencintainya lagi. Setiap hari ia menemuiku tapi aku selalu menghindar darinya saat dia menghubungiku aku hanya membalasnya singkat sikapku membuatnya bingung. Suatu hari ia datang ke rumahku dan meminta maaf atas kejadiaan saat itu ia juga berkata agar diriku tak menghindar darinya, semua akan baik-baik saja itulah yang ia katakan.
Perjalanan kami pun berlangsung ia sering bercerita tentang kehidupannya dan bigitu pula aku. Setiap hari kita selalu bertemu. Sampai pada suatu hari saat kami berada di Taman datang mantan kekasihnya kulihat mereka berbicara, aku pun begitu sakit saat sang wanita mengajak untuk balikan, wanita itu memeluk Vicky dan tatapan Vicky begitu dalam yang membuatku yakin bahwa Vicky masih menyayangi wanita itu. Aku pun pergi meninggalkan mereka berdua, sesampai di rumah akupun memutuskan untuk kembali ke Palembang karena di sini aku hanya mendapatkan luka yang tak pernah kering malah semakin memburuk. Tiket sudah di tangan esok paginya aku memutuskan pergi, teman-teamanku mengantarkanku ke bandara.
“tapi mengapa cinta datang terlambat”
Pesawatku telah terbang meninggalkan Vicky yang menyusul ke bandara tatapi semua itu telah terlambat. Nia menceritakan semua pada Vicky atas penyebab kepergiaanku lalu ia menunjukan sebuah diary yang berisi semua kisahku yang begitu cinta. Vicky meneteskan air mata saat tau ia telah menyia-nyiakan cinta tulus dari seorang wanita yang telah berharap begitu lama mendapatkan cinta. Vicky juga menyadari bahwa ia telah jatuh cinta
Satu tahun setelah kejadiaan itu aku kembali lagi untuk mengunjungi pernikahan Dina disana tak kulihat Vicky, aku pun berfikir pasti dia telah menikah dan hidup bahagia. Tak kuduga ternyata Vicky ada di sebelahku, aku tersenyum malu saat mata kita saling menatap.
“berakhir sudah pencariaan kisah cintaku diri ini tak lagi sepi kini aku tak sendiri”
“hay, kenapa baru kembali?”
“gak papa aku lebih enak disana… eh gimana dengan pernikahanmu?”
“nikah? wahahhaha… belum kok. Tapi sebentar lagi aku bakalan nyusul dina tapi aku masih nunggu dia kembali dan sekarang ia kembali…!!”
“selamet yah… aku turut bahagia.” “kamu gimana?” “aku? Gak tau orang yang aku mau udah mau nikah sih?” Vicky “mata kamu kok merah?” “eh… kelilipan. ngomong-ngomong calonmu ada disini?” “iyalah dia ada disini” “mana-mana aku mau kenalan”
Vicky denngan menatap tajam ke arahku “dia ada di depanku dan kulihat cinta dalam matanya yang selama ini aku sia-siakan, aku mencintaimu”
“aku…? Apaan sih becandanya lucu” “aku serius Vicky sayang Nayla… cinta Nayla dan akan menjaga hati ini Cuma buat Nayla”
Air mataku menetes deras dan aku hanya bisa berkata aku mencintaimu… Inilah cinta yang akan indah pada waktunya entah harus berapa banyak waktu tapi yakinlah semua akan indah.
TAMAT
Cerpen Karangan: Windi Hayati
CERPEN CINTA SEGITIGA
JOMBLO BUKAN KUTUKAN
Cinta itu seperti perang, mudah dimulai namun sukar diakhiri. Begitulah kata pepatah yang pernah kubaca pada sebuah novel. Bagiku, pepatah tersebut memang benar adanya. Karena aku adalah seorang cewek yang sering jatuh cinta tapi endingnya selalu menyedihkan. Kita sebut saja dengan ‘cinta bertepuk sebelah tangan’.
Meskipun demikian, aku tak bisa membenci cowok-cowok yang sudah menolak cintaku. Menolak atau menerima hati seseorang itu kan hak azasi manusia. Lagian aku juga sudah lega kok setelah mengetahui bagaimana tanggapan mereka. Kan lebih baik nembak duluan daripada nunggu seumur hidup. Bagiku, cinta harus dikejar. Toh udah dikejar aja cinta itu masih sulit kudapat.
“Nin. Abis kuliah sama Pak Burhan kamu pulang sendiri aja ya.”
“Ha?” Aku mengerutkan dahi pada Cica. “Kok gitu sih?”
“Alan mau ngajak aku dinner.”
“Ooo, gitu.” Tanggapku dengan bibir manyun.
“Jangan childish gitu dong. Ntar aku bawain deh sepuluh roti cokelat goreng.”
“Bener, nih?” Aku luluh dan Cica pun mengangguk.
Keterlaluan juga si Cica. Udah ngebiarin sohibnya pulang sendiri, terbakar di bawah terik matahari, dia juga nitip pesan lagi. Pesannya gak pernah berubah. ‘Jangan lupa angkat jemuran kalo hujan turun, ya’.
Saat meratapi nasib diri – lebay banget – aku melirik sebuah toko kue yang terletak di sebelah gerbang kampus. Aku melihat box es krim di sana sehingga secara reflek kakiku langsung menuju tempat itu sambil berharap dahagaku bisa sedikit berkurang setelah mencicipi es krim yang nikmat.
Saking dahaganya, aku langsung menyobek plastik pembungkus es krim lalu menjilatinya seperti anak kecil yang sudah dua belas bulan nggak pernah jajan. Setelah itu aku berjalan menuju kasir dengan tangan merogoh saku celana. Oh my God! Nggak ada selembar uang pun di saku celanaku. Bahkan dompet pun juga nggak ada. Mas keriting yang berdiri di belakang mesin kasir menatapku sekilas. Mungkin ia sedang mikir kenapa cewek secantik aku – narsis nih – mau nyari remah-remah roti di lantai untuk kupatok seperti seekor ayam kampung yang lagi keroncongan.
“Nyari apa, Dek?” Tanya seorang cowok jangkung yang mendadak muncul di hadapanku. Aku menengadah lantas berdiri sambil menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Wuis! Cakep banget.
“Oh… Eh! Ini, lagi nyari jepit rambut. Nggak tahu jatuh ke mana.”
“Sini, aku bantu.” Cowok tadi langsung berjongkok lalu memandangi setiap ruang kosong yang ada di bawah rak-rak makanan ringan. Aku harap Mas yang dari tadi ngelihatin aku nggak berpikiran kayak gini ‘wah, kali ini ayam kampung ketemu sama ayam bule’.
“Sorry. Ngerepotin.”
“Nggak apa-apa.”
“Hei!” Terdengar suara serak dari belakang. Mas keriting memandangku aneh. “Es krim kamu itu belum dibayar kan?”
Deg! Perasaanku mulai nggak enak. Bisa kehilangan muka, nih.
“Kamu belum bayar es krim nya ya?” Cowok cakep tadi mengulangi pertanyaan Mas keriting, namun dengan intonasi yang tidak mengintimidasi.
Belum sempat aku bicara, cowok cakep yang memakai T-Shirt kuning tadi langsung menuju kasir. Ia meminta sebotol parfum dan minyak rambut yang ada di dalam etalase lalu langsung membayarnya. “Sekalian sama es krim yang lagi dimakan sama cewek itu ya, Mas.”
“Thanks, ya.” Ucapku tatkala kami sudah keluar dari toko tadi.
“Ya. Sama-sama. Kenapa kamu nggak jujur aja kalo kamu nggak bawa uang?”
“Aku bawa uang, kok. Cuma… aku nggak ingat dimana udah menaruhnya. Dompetku juga nggak tahu dimana rimbanya.”
“Gitu, ya.” Tanggapnya santai tanpa menaruh empati terhadap the sorrow event yang kualami.
“O, ya. Kenalin, aku Nindi.”
“Nakta” Ia menyambut uluran tanganku dan aku merasa disengat listrik bermuatan cinta ratusan volt.
Di depan cermin, aku menari-nari lalu melompat kegirangan. Otakku tak kuasa menghentikan denyut jantung yang berkata Nakta, Nakta dan Nakta. Cowok itu berbaik hati mengantarku sampai di depan kos.
Sebenarnya, saat ia menawarkan boncengan aku baru ingat dimana letak dompetku yang hilang itu. Benda dengan diskon tujuh puluh persen tersebut kutaruh di dalam tas. Mungkin karena harganya yang telalu miring itulah menjadi penyebab mengapa aku lebih ingat untuk nonton sinetron setiap malam daripada mengingat dimana aku telah menaruhnya. Daripada memberitahu Nakta bahwa dompetku udah ketemu, aku memilih untuk adem adem ketimun aja. Kalau dia udah tahu dompetku ketemu bisa-bisa aku musti pulang sama delman.
Malam harinya, aku menceritakan peristiwa tadi siang pada Cica. Kejutan! Ternyata ia udah kenal dengan Nakta. Dulu, cowok tersebut adalah ketua OSIS di sekolahnya dan saat itu ia masih kelas satu SMU. Sebagai informasi tambahan, Nakta adalah tipikal cowok yang hobi olahraga dan suka seni beladiri. Namanya sudah sering hilir mudik di koran propinsi berkat kemenangannya dalam berbagai lomba karate. Oleh sebab itu, bukan hal aneh jika ia sering dikejar-kejar cewek.
“Ca. Ada nomor hapenya Nakta, nggak?”
“Nggak ada, Nin.” Jawabannya melenyapkan angan-anganku untuk kembali bertemu Nakta. “Emang buat apa? Naksir, nih?”
“Yaaa, gitu deh.”
“Cie… cie. Jatuh cinta lagi,” Cica menyipitkan kedua matanya ditingkahi dengan senyuman nakal. “Ntar, deh. Aku tanyain sama teman-teman lama di Facebook. Siapa tahu aja mereka punya nomor hape Nakta.”
“Lho! Emangnya Nakta nggak ada akun? Kok kamu pake nanya ke teman-teman lama segala.”
“Itu dia masalahnya. Sepanjang yang aku tahu, Nakta itu jarang banget duduk di depan komputer. Ia kan bukan anak rumahan kayak Alan.”
Aku manggut-manggut.
“Hampir aja lupa. Nih, roti cokelat goreng yang aku janjiin.”
“Waah… Maaa Chiii.”
“Gak usah lebay gitu kali. Jangan diabisin semua ya. Ntar malah sakit gigi lagi.”
Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus seorang diri. Cica nggak bisa masuk karena pagi-pagi buta ia sudah keluar masuk toilet. Pas ditanya, ia mengeluh kalau perutnya mules banget. Ia sempat menyalahkan Alan karena cowok itu telah mengajaknya makan rujak di persimpangan setelah puas nangkring di resto Jepang. Udah gitu, pake acara nambah dua mangkuk lagi. Ha ha ha. Pantesan tuh perut jadi nyahok.
Lima menit yang berlalu membuat kakiku mulai lumutan. Setiap angkot yang ku stop pada penuh semua. Coba tempat kos ku jaraknya cuma sejengkal dari kampus, pasti nggak usah berangkat pake angkot segala. Tapi mau gimana lagi. Kos-kosan di sekitar kampus udah nggak ada yang kosong.
Tiiin! “Tin, tiiin. Eh, Sutin.” Latahku kumat lagi gara-gara klakson sepeda motor.
“Mau bareng, nggak?” tawar cowok yang duduk di sepeda motor gede itu sembari membuka helmnya. “Masih ingat aku, kan?”
Mulutku terganga kagum – pasti bentuknya nggak karuan banget – setelah menyadari satu hal. Dia Nakta. Aku langsung naik ke boncengan tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kalau tetap memaksakan diri untuk bicara, bisa-bisa aku malah gagap.
Kami berhenti di depan gerbang kampusku. Aku mengucapkan terimakasih pada Nakta dan ia pun menanggapinya dengan senyuman yang memukau. Detik itu aku nekat mencubit pahaku sendiri demi memastikan bahwa pemandangan tersebut bukanlah mimpi belaka. Alhasil, aku meringis kesakitan sambil bergumam bahwa sekarang aku berada di alam nyata. Sungguh berita yang bagus.
Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh dua puluh menit. Masih ada sedikit waktu untuk memanjakan diri dengan pesona Nakta yang masih berpendar-pendar indah. Tanpa pikir panjang aku langsung meminta nomor hape cowok itu dengan alasan Cica memerlukannya. Waduh, kok aku bisa-bisanya nyebut nama Cica, sih? Nakta tampak kaget ketika aku menyebut nama teman kos ku itu. Ia pun bertanya padaku sudah berapa lama aku dan Cica berteman.
“Kami saling kenal sejak hari pertama pendaftaran kuliah. Emang kenapa?”
“Nggak apa-apa. Aku jadi ingat aja sama temanmu itu. Tepatnya ketika aku melihat ia memenangkan kontes menyanyi antar sekolah.” Pancaran mata Nakta terlihat sendu saat ia menyelesaikan tiga kata terakhir.
“Oh, ya? Kenapa Cica nggak pernah cerita?”
“Cica bukan tipe cewek yang suka pamer.”
“Ha?” Aku tidak mendengar ucapan Nakta dengan jelas karena sebuah mobil menyalakan klakson dalam tempo yang panjang. “Barusan ngomong apa?”
“Lupain aja.” Senyumnya kembali mekar. “Ini kartu namaku. Kalau ada waktu silahkan datang ke distro. Jangan lupa, Cica juga diajak ya.”
Nakta beranjak dari hadapanku. Kartu nama berlatar bintang-bintang di ruang angkasa kupandangi sejenak. Nama distronya keren, Green Galaxi. Di sudut kiri kartu nama tadi tertulis nama Rahardian Dinakta dan nama itu jauh lebih keren ketimbang nama boneka kesayanganku, Sarimin.
Cica langsung menelepon Nakta ketika aku memperlihatkan kartu nama cowok itu padanya. Begitu telepon diangkat, ia berlari keluar kamar. Dari kejauhan, aku melihat Cica menangis. Aku bertanya-tanya sendiri mengapa ia jadi tidak karuan seperti itu sampai akhirnya ia menceritakan semuanya.
Waktu kelas satu SMU dulu Cica pernah mengikuti kontes menyanyi antar sekolah. Ia berhasil meraih juara pertama dalam kontes tersebut. Saat itulah Nakta yang menjabat sebagai ketua OSIS memberi ucapan selamat secara pribadi padanya. Pertemuan mereka pun berlanjut menjadi sebuah ikatan yang lebih dari teman.
Setahun kemudian, Nakta menamatkan bangku SMU lalu memutuskan untuk kuliah Management di Australia. Sepeninggalnya, Cica yang saat itu duduk di kelas dua, tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh dengan Nakta. Akhirnya, ia pun bertemu dengan Alan dan hubungannya dengan Nakta pun perlahan memudar.
Di sisi lain, tiba-tiba Nakta memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan tujuan merayakan setahun hari jadiannya dengan Cica. Lalu, apa yang terjadi? Ia harus kecewa dan tersakiti karena begitu tiba di depan rumah Cica ia bertemu dengan Alan. Bahkan Ia melihat cowok ikal itu mengecup dahi gadis yang ia sayangi. Tindakan tersebut sudah cukup untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Hiks…hiks. Aku ini cewek jahat, Nin. Aku tega ninggalin Nakta padahal aku tahu ia begitu tulus sama aku.”
“Udah… Itu bukan sepenuhnya salah kamu kok.”
“Maafin aku Nin. Seharusnya aku tidak menceritakan semua ini sama kamu.” Cica mengusap air matanya yang terus mengalir sembari melepaskan pelukanku. “Aku tahu kamu suka sama Nakta, tapi aku malah…”
“Ssst. Udah. Jangan dibahas lagi.”
Aku tak ingin Cica mencurahkan semua isi hatinya. Aku tahu hatinya sedih sekali karena telah mengkhianati kasih sayang Nakta. Tapi bagaimana pun juga, ia harus melupakan semua itu dan jangan mengulangi hal yang sama pada Alan.
“Hiks… Aku akan membantumu untuk mendapatkan Nakta, Nin.”
“Nggak usah repot. Itu hanya akan membuatmu semakin sulit melupakannya.”
Cica kembali memelukku. Kali ini giliranku yang mulai meneteskan air mata. Niatnya memang baik namun takkan mungkin bagiku untuk menerimanya. Ada satu kemungkinan yang belum ia katakan padaku dan entah berapa persen besar kemungkinan itu aku tidak tahu. Yang jelas, aku yakin sekali bahwa di dalam pancaran matanya masih ada cinta untuk Nakta.
selesai
Cerpen Karangan: Mogit
Cinta itu seperti perang, mudah dimulai namun sukar diakhiri. Begitulah kata pepatah yang pernah kubaca pada sebuah novel. Bagiku, pepatah tersebut memang benar adanya. Karena aku adalah seorang cewek yang sering jatuh cinta tapi endingnya selalu menyedihkan. Kita sebut saja dengan ‘cinta bertepuk sebelah tangan’.
Meskipun demikian, aku tak bisa membenci cowok-cowok yang sudah menolak cintaku. Menolak atau menerima hati seseorang itu kan hak azasi manusia. Lagian aku juga sudah lega kok setelah mengetahui bagaimana tanggapan mereka. Kan lebih baik nembak duluan daripada nunggu seumur hidup. Bagiku, cinta harus dikejar. Toh udah dikejar aja cinta itu masih sulit kudapat.
“Nin. Abis kuliah sama Pak Burhan kamu pulang sendiri aja ya.”
“Ha?” Aku mengerutkan dahi pada Cica. “Kok gitu sih?”
“Alan mau ngajak aku dinner.”
“Ooo, gitu.” Tanggapku dengan bibir manyun.
“Jangan childish gitu dong. Ntar aku bawain deh sepuluh roti cokelat goreng.”
“Bener, nih?” Aku luluh dan Cica pun mengangguk.
Keterlaluan juga si Cica. Udah ngebiarin sohibnya pulang sendiri, terbakar di bawah terik matahari, dia juga nitip pesan lagi. Pesannya gak pernah berubah. ‘Jangan lupa angkat jemuran kalo hujan turun, ya’.
Saat meratapi nasib diri – lebay banget – aku melirik sebuah toko kue yang terletak di sebelah gerbang kampus. Aku melihat box es krim di sana sehingga secara reflek kakiku langsung menuju tempat itu sambil berharap dahagaku bisa sedikit berkurang setelah mencicipi es krim yang nikmat.
Saking dahaganya, aku langsung menyobek plastik pembungkus es krim lalu menjilatinya seperti anak kecil yang sudah dua belas bulan nggak pernah jajan. Setelah itu aku berjalan menuju kasir dengan tangan merogoh saku celana. Oh my God! Nggak ada selembar uang pun di saku celanaku. Bahkan dompet pun juga nggak ada. Mas keriting yang berdiri di belakang mesin kasir menatapku sekilas. Mungkin ia sedang mikir kenapa cewek secantik aku – narsis nih – mau nyari remah-remah roti di lantai untuk kupatok seperti seekor ayam kampung yang lagi keroncongan.
“Nyari apa, Dek?” Tanya seorang cowok jangkung yang mendadak muncul di hadapanku. Aku menengadah lantas berdiri sambil menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Wuis! Cakep banget.
“Oh… Eh! Ini, lagi nyari jepit rambut. Nggak tahu jatuh ke mana.”
“Sini, aku bantu.” Cowok tadi langsung berjongkok lalu memandangi setiap ruang kosong yang ada di bawah rak-rak makanan ringan. Aku harap Mas yang dari tadi ngelihatin aku nggak berpikiran kayak gini ‘wah, kali ini ayam kampung ketemu sama ayam bule’.
“Sorry. Ngerepotin.”
“Nggak apa-apa.”
“Hei!” Terdengar suara serak dari belakang. Mas keriting memandangku aneh. “Es krim kamu itu belum dibayar kan?”
Deg! Perasaanku mulai nggak enak. Bisa kehilangan muka, nih.
“Kamu belum bayar es krim nya ya?” Cowok cakep tadi mengulangi pertanyaan Mas keriting, namun dengan intonasi yang tidak mengintimidasi.
Belum sempat aku bicara, cowok cakep yang memakai T-Shirt kuning tadi langsung menuju kasir. Ia meminta sebotol parfum dan minyak rambut yang ada di dalam etalase lalu langsung membayarnya. “Sekalian sama es krim yang lagi dimakan sama cewek itu ya, Mas.”
“Thanks, ya.” Ucapku tatkala kami sudah keluar dari toko tadi.
“Ya. Sama-sama. Kenapa kamu nggak jujur aja kalo kamu nggak bawa uang?”
“Aku bawa uang, kok. Cuma… aku nggak ingat dimana udah menaruhnya. Dompetku juga nggak tahu dimana rimbanya.”
“Gitu, ya.” Tanggapnya santai tanpa menaruh empati terhadap the sorrow event yang kualami.
“O, ya. Kenalin, aku Nindi.”
“Nakta” Ia menyambut uluran tanganku dan aku merasa disengat listrik bermuatan cinta ratusan volt.
Di depan cermin, aku menari-nari lalu melompat kegirangan. Otakku tak kuasa menghentikan denyut jantung yang berkata Nakta, Nakta dan Nakta. Cowok itu berbaik hati mengantarku sampai di depan kos.
Sebenarnya, saat ia menawarkan boncengan aku baru ingat dimana letak dompetku yang hilang itu. Benda dengan diskon tujuh puluh persen tersebut kutaruh di dalam tas. Mungkin karena harganya yang telalu miring itulah menjadi penyebab mengapa aku lebih ingat untuk nonton sinetron setiap malam daripada mengingat dimana aku telah menaruhnya. Daripada memberitahu Nakta bahwa dompetku udah ketemu, aku memilih untuk adem adem ketimun aja. Kalau dia udah tahu dompetku ketemu bisa-bisa aku musti pulang sama delman.
Malam harinya, aku menceritakan peristiwa tadi siang pada Cica. Kejutan! Ternyata ia udah kenal dengan Nakta. Dulu, cowok tersebut adalah ketua OSIS di sekolahnya dan saat itu ia masih kelas satu SMU. Sebagai informasi tambahan, Nakta adalah tipikal cowok yang hobi olahraga dan suka seni beladiri. Namanya sudah sering hilir mudik di koran propinsi berkat kemenangannya dalam berbagai lomba karate. Oleh sebab itu, bukan hal aneh jika ia sering dikejar-kejar cewek.
“Ca. Ada nomor hapenya Nakta, nggak?”
“Nggak ada, Nin.” Jawabannya melenyapkan angan-anganku untuk kembali bertemu Nakta. “Emang buat apa? Naksir, nih?”
“Yaaa, gitu deh.”
“Cie… cie. Jatuh cinta lagi,” Cica menyipitkan kedua matanya ditingkahi dengan senyuman nakal. “Ntar, deh. Aku tanyain sama teman-teman lama di Facebook. Siapa tahu aja mereka punya nomor hape Nakta.”
“Lho! Emangnya Nakta nggak ada akun? Kok kamu pake nanya ke teman-teman lama segala.”
“Itu dia masalahnya. Sepanjang yang aku tahu, Nakta itu jarang banget duduk di depan komputer. Ia kan bukan anak rumahan kayak Alan.”
Aku manggut-manggut.
“Hampir aja lupa. Nih, roti cokelat goreng yang aku janjiin.”
“Waah… Maaa Chiii.”
“Gak usah lebay gitu kali. Jangan diabisin semua ya. Ntar malah sakit gigi lagi.”
Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus seorang diri. Cica nggak bisa masuk karena pagi-pagi buta ia sudah keluar masuk toilet. Pas ditanya, ia mengeluh kalau perutnya mules banget. Ia sempat menyalahkan Alan karena cowok itu telah mengajaknya makan rujak di persimpangan setelah puas nangkring di resto Jepang. Udah gitu, pake acara nambah dua mangkuk lagi. Ha ha ha. Pantesan tuh perut jadi nyahok.
Lima menit yang berlalu membuat kakiku mulai lumutan. Setiap angkot yang ku stop pada penuh semua. Coba tempat kos ku jaraknya cuma sejengkal dari kampus, pasti nggak usah berangkat pake angkot segala. Tapi mau gimana lagi. Kos-kosan di sekitar kampus udah nggak ada yang kosong.
Tiiin! “Tin, tiiin. Eh, Sutin.” Latahku kumat lagi gara-gara klakson sepeda motor.
“Mau bareng, nggak?” tawar cowok yang duduk di sepeda motor gede itu sembari membuka helmnya. “Masih ingat aku, kan?”
Mulutku terganga kagum – pasti bentuknya nggak karuan banget – setelah menyadari satu hal. Dia Nakta. Aku langsung naik ke boncengan tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kalau tetap memaksakan diri untuk bicara, bisa-bisa aku malah gagap.
Kami berhenti di depan gerbang kampusku. Aku mengucapkan terimakasih pada Nakta dan ia pun menanggapinya dengan senyuman yang memukau. Detik itu aku nekat mencubit pahaku sendiri demi memastikan bahwa pemandangan tersebut bukanlah mimpi belaka. Alhasil, aku meringis kesakitan sambil bergumam bahwa sekarang aku berada di alam nyata. Sungguh berita yang bagus.
Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh dua puluh menit. Masih ada sedikit waktu untuk memanjakan diri dengan pesona Nakta yang masih berpendar-pendar indah. Tanpa pikir panjang aku langsung meminta nomor hape cowok itu dengan alasan Cica memerlukannya. Waduh, kok aku bisa-bisanya nyebut nama Cica, sih? Nakta tampak kaget ketika aku menyebut nama teman kos ku itu. Ia pun bertanya padaku sudah berapa lama aku dan Cica berteman.
“Kami saling kenal sejak hari pertama pendaftaran kuliah. Emang kenapa?”
“Nggak apa-apa. Aku jadi ingat aja sama temanmu itu. Tepatnya ketika aku melihat ia memenangkan kontes menyanyi antar sekolah.” Pancaran mata Nakta terlihat sendu saat ia menyelesaikan tiga kata terakhir.
“Oh, ya? Kenapa Cica nggak pernah cerita?”
“Cica bukan tipe cewek yang suka pamer.”
“Ha?” Aku tidak mendengar ucapan Nakta dengan jelas karena sebuah mobil menyalakan klakson dalam tempo yang panjang. “Barusan ngomong apa?”
“Lupain aja.” Senyumnya kembali mekar. “Ini kartu namaku. Kalau ada waktu silahkan datang ke distro. Jangan lupa, Cica juga diajak ya.”
Nakta beranjak dari hadapanku. Kartu nama berlatar bintang-bintang di ruang angkasa kupandangi sejenak. Nama distronya keren, Green Galaxi. Di sudut kiri kartu nama tadi tertulis nama Rahardian Dinakta dan nama itu jauh lebih keren ketimbang nama boneka kesayanganku, Sarimin.
Cica langsung menelepon Nakta ketika aku memperlihatkan kartu nama cowok itu padanya. Begitu telepon diangkat, ia berlari keluar kamar. Dari kejauhan, aku melihat Cica menangis. Aku bertanya-tanya sendiri mengapa ia jadi tidak karuan seperti itu sampai akhirnya ia menceritakan semuanya.
Waktu kelas satu SMU dulu Cica pernah mengikuti kontes menyanyi antar sekolah. Ia berhasil meraih juara pertama dalam kontes tersebut. Saat itulah Nakta yang menjabat sebagai ketua OSIS memberi ucapan selamat secara pribadi padanya. Pertemuan mereka pun berlanjut menjadi sebuah ikatan yang lebih dari teman.
Setahun kemudian, Nakta menamatkan bangku SMU lalu memutuskan untuk kuliah Management di Australia. Sepeninggalnya, Cica yang saat itu duduk di kelas dua, tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh dengan Nakta. Akhirnya, ia pun bertemu dengan Alan dan hubungannya dengan Nakta pun perlahan memudar.
Di sisi lain, tiba-tiba Nakta memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan tujuan merayakan setahun hari jadiannya dengan Cica. Lalu, apa yang terjadi? Ia harus kecewa dan tersakiti karena begitu tiba di depan rumah Cica ia bertemu dengan Alan. Bahkan Ia melihat cowok ikal itu mengecup dahi gadis yang ia sayangi. Tindakan tersebut sudah cukup untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Hiks…hiks. Aku ini cewek jahat, Nin. Aku tega ninggalin Nakta padahal aku tahu ia begitu tulus sama aku.”
“Udah… Itu bukan sepenuhnya salah kamu kok.”
“Maafin aku Nin. Seharusnya aku tidak menceritakan semua ini sama kamu.” Cica mengusap air matanya yang terus mengalir sembari melepaskan pelukanku. “Aku tahu kamu suka sama Nakta, tapi aku malah…”
“Ssst. Udah. Jangan dibahas lagi.”
Aku tak ingin Cica mencurahkan semua isi hatinya. Aku tahu hatinya sedih sekali karena telah mengkhianati kasih sayang Nakta. Tapi bagaimana pun juga, ia harus melupakan semua itu dan jangan mengulangi hal yang sama pada Alan.
“Hiks… Aku akan membantumu untuk mendapatkan Nakta, Nin.”
“Nggak usah repot. Itu hanya akan membuatmu semakin sulit melupakannya.”
Cica kembali memelukku. Kali ini giliranku yang mulai meneteskan air mata. Niatnya memang baik namun takkan mungkin bagiku untuk menerimanya. Ada satu kemungkinan yang belum ia katakan padaku dan entah berapa persen besar kemungkinan itu aku tidak tahu. Yang jelas, aku yakin sekali bahwa di dalam pancaran matanya masih ada cinta untuk Nakta.
selesai
Cerpen Karangan: Mogit
CERPEN PENYESALAN
aku telah berdosa
apakah kau akan
memaafkanku ,Tuhan?
Perkenalkan namaku adalah Narkoba atau kau
bisa memanggilku dengan nama lain yaitu Napza yang merupakan singkatan dari
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Aku memang kecil, tapi aku bisa
membuat kalian hancur. Banyak orang menyukaiku, terutama mereka yang sudah
hilang akal sehatnya.
Kali ini korban ku
bernama Lesline Camela, dia adalah seorang gadis remaja berparas cantik
dengan hidung mancung,berkulit putih dan memiliki ukuran tubuh bak seorang
model papan atas sehingga bisa dibilang dia hampir cantik sempurna. Dia
dilahirkan dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang harmonis dan berkecukupan.
Dan Lesline adalah anak tunggal dari keluarga itu. Lesline adalah seorang murid
berprestasi dari sekolah dasar, itu semua juga berkat motivasi dari keluarganya.
Sekarang Lesline masih kelas 1 SMA. Intinya dia adalah gadis yang beruntung
karna memiliki semua kesempurnaan itu.
Namun Lesline tak pernah menduga, kehidupan seperti itu tak berjalan
selamanya. Semua itu berawal, ketika Lesline yang baru saja pulang sekolah tak
sengaja melihat ayahnya yang sedang menampar ibunya dengan penuh amarah.
Lesline melihat dengan mata kepalanya
sendiri. Lesline tak menyangka tangan itu yang biasanya melindunginya dan
ibunya, kini malah menampar wajah ibunya. Dan semenjak sa’at itu Lesline tak
kuasa menahan air mata yang terus keluar membasahi pipinya. Lesline berharap
kejadian gila itu cepat dilupakannya karna itu sangat menyakitkannya. Hingga
akhirnya pertengkaran itu berujung pada perceraian yang lebih menyakitkannya
lagi.
Kini hari-harinya dipenuhi dengan lamunan, rasa sakit yang
luar biasa membuat jantungnya terasa berat dan sesekali merasakan dadanya sesak
seperti kehabisan nafas, inginya berteriak namun tak bisa suaranya seperti
tertahan untuk keluar. Rasa sakit yang menusuk direlung hati yang paling dalam
itulah yang dirasakannya sa’at ini.
Dan Lesline pun memutuskan untuk pergi ke rumah neneknya,
berharap ia akan mendapatkan ketenangan disana. Malam pun tiba, Lesline masih
termenung terus membayangkan kejadian itu mereka-reka ulang sa’at ayahnya
menampar ibunya dan membuat ibunya menangis dan Lesline ikut merasakan rasa
sakit itu. Dan perlahan tetesan air matanya mulai membasahi pipinya lagi Lesline
berusaha tegar dengan terus memukuli dadanya dengan salah satu tangannya.
Hingga terdengar sebuah suara langkah kaki neneknya membuyarkan lamunannya.
Lesline cepat-cepat menghapus air matanya dan mengalihkan pandangannya ke arah
neneknya. “Kau tidak mengantuk Lesline?” terlihat neneknya mulai duduk
disampingnya. Lesline hanya menggelengkan kepalanya. Perlahan Lesline tersenyum
dan menjawabnya lirih “aku tidak bisa tidur nek”.
“Aku tahu Lesline apa yang sedang kau rasakan sa’at ini,
gundah, sakit, rindu bercampur aduk jadi satu seperti es campur milik pak
lukman tetangga sebelah” kata neneknya bercanda mencoba menghiburnya. Lesline tertawa
pelan mendengarnya. “aku sebatang kara nek!” teriaknya. “Ssst..kau tidak boleh
bicara seperti itu Lesline.” Sebelum neneknya selesai berbicara Lesline
memotong pembicaraanya. “Tapi aku tidak memiliki keluarga yang aku banggakan
lagi nek, keluargaku telah hancur mereka jahat pergi meninggalkan aku sendiri.”
Suaranya semakin pelan dan semakin tak sanggup menahan air matanya. Mereka diam
sesa’at dan suasana menjadi hening. Perlahan neneknya memulai pembicaraan dan
mencoba menenangkannya ”Bagaimana pun keadaan mereka, mereka tetaplah
orangtuamu, kau tetap anggap mereka ada jangan pernah kamu katakan kalau kau
tidak mempunyai keluarga, cobalah kau ingat-ingat kembali sa’at kau dipeluknya
manja, selalu ada sa’at kau
membutuhkannya, gurauan candanya, bahkan mereka berusaha mewujudkan apapun yang
kau mau.” Lesline terdiam tak ada sepatah kata pun yang terlontar. Kata-katanya
serasa menusuk hatinya dan air matanya menetes, isak tangis Lesline mulai
keluar di malam yang hening tak ada suara sa’at itu hanya suara tangisnya yang
ada “Tidurlah Lesline ini sudah malam, lupakanlah kejadian ini bersama mimpi
indahmu Lesline.”
Lesline pun menurutinya “Baiklah nek” jawab Lesline
mengangguk. “Berjanjilah padaku untuk selalu tersenyum dalam menghadapi
berbagai masalah.” Tanya neneknya. “Aku berjanji nek.” Lesline mengiyakannya
sambil tersenyum.
Tak lama kemudian Lesline mencoba memejamkan matanya dan
tertidur. Hari menjelang pagi sang fajar mulai memamerkan sinarnya pada dunia.
Lesline terbangun dari tidurnya yang lelap. Perceraian orang tuanya membuatnya
putus asa tapi Lesline tahu kehidupan tetap berjalan. Hari demi hari dilaluinya
dengan kesunyian. Yang biasanya terdengar gurauan ayah dan ibunya yang selalu
membuatnya tertawa, kini semua itu terasa hambar baginya. Terkadang ketika Lesline
melihat temannya yang diantar oleh ayah ataupun ibunya, membuatnya tak tahan
membendung air matanya. Lesline sangat merindukan kehidupan seperti mereka.
Tak seperti teman-temannya yang lain yang sedang asik bersenda
gurau satu sama lain, akhir-akhir ini disa’at istirahat pun Lesline hanya duduk
terdiam termenung dibangkunya. Hal ini membuat penasaran salah satu teman
sekelasnya panggil saja dia Riani “Hey Les kalau aku perhatikan kau akhir-akhir
ini diam saja, kau kenapa Lesline?” tanyanya. “Aku tidak apa-apa kok Ri.” Jawab
Lesline tersenyum palsu. “Ayolah Les ceritakan semuanya padaku aku berjanji aku
akan merahasiakannya. Percayalah padaku” Kata Riani menyakinkannya.
“Percuma saja kau tidak akan mengerti,ini begitu rumit ada hal
yang membuatku bingung Ri kenapa mereka tega meninggalkanku. Orang tuaku
bercerai, keluargaku hancur Ri. Dan itu sangat menyiksa batinku.” Jelas Lesline
pura-pura tegar sambil menggigit bibirnya. “Sabar ya Les aku tau itu sangat
sulit untukmu tapi pakailah ini dan kau akan merasa tenang. Aku juga memakainya
disa’at aku sedang gundah dan ini sangat berguna” Balas Riani sambil memberikan
bungkusan kecil dari dalam sakunya.
Di dalam kamarnya Lesline terus memandangi bungkusan itu yang
diletakan di meja belajarnya dengan rasa penasaran Lesline mengambil bungkusan
itu dan membukanya perlahan-lahan, tiba-tiba muncul bau yang menusuk hidungnya.
Dihirupnya bau itu dalam-dalam. Lagi dan lagi. Ternyata benar apa yang
dikatakan Riani tanpa disadarinya Lesline bisa tenang karenanya. Dan sejak
sa’at itu narkotika menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Lesline tak bisa
lepas dari benda itu dalam arti lain Lesline sudah ketergantungan pada benda
haram itu.
Esok harinya disekolahan, Riani menghampiri Lesline dan duduk
disamping bangkunya.“Lesline, nanti malam kamu sibuk atau tidak? Kalau tidak
ikutlah denganku.”
“Kemana?” tanya Lesline. “Pokoknya dari pada kamu melamun
dirumah terus dan ujungnya pasti sedih mending ikut aku deh pasti seneng.”
Balas Riani. “Baiklah.” Jawab Lesline sedikit ragu.
Waktu menunjukan tepat pukul 10 malam, tiba-tiba hp Lesline
bergetar dan dilihatnya sms dari Riani yang mengingatkan janjinya dan akan
mengajaknya pergi dan Lesline mengiyakan ajakannya. Terlintas dipikiran Lesline
dulu ayah dan ibunya sering mengingatkannya agar tidak keluar pada malam hari
tapi itu dulu mencoba menyakinkan di benaknya apa salahnya sekarang mereka tak lagi
memperhatikannya mungkin ia akan mendapatkan kebahagian baru dengan
teman-temannya. Lesline keluar rumah menjaga langkah kakinya tetap pelan agar
tidak membangunkan neneknya yang sedang tidur. Dibuka pintu rumahnya dan disana
Riani sudah duduk didepan teras rumah menunggu Lesline “Riani,maaf aku sudah
membuatmu menunggu lama.”
“Ayo cepat masuklah
kedalam mobil.” Kata Riani pada Lesline. “Kita mau keman Ri?” tanya Lesline.
“Sudahlah kau diam saja, nanti kau juga akan tahu sendiri.” Jawab Riani. Mereka
melaju menuju tempat tujuan.“Apakah ini rumahmu Ri?” “Bukan ini rumah kenalanku
.
Tampak luar dari rumah itu sepi hanya gonggongan anjing yang
terdengar, namun ketika Lesline membuka pintu rumah itu sangat ramai seperti
klub malam di kota-kota besar disana sudah duduk teman-teman Riani yang sedang
asik berbincang satu sama lain dengan segelas anggur merah digenggaman mereka.
Lesline melihat keseluruh ruangan tampak botol miras berserakan dimana-mana.
“Kau pasti Lesline kan, aku joy temannya Riani” salah seorang dari mereka
menyapanya.
“Kemarilah! Bergabung bersama kami, cobalah ini pasti kau akan
suka” katanya dengan menyodorkan sebotol miras kepada Lesline. Lesline hanya
tersenyum tak tahu apa yang harus dilakukannya karna hal itu masih terlalu asing
baginya. Tetapi mereka terus membujuknya hingga Lesline mau meminumnya, itu
dilakukannya berulang kali hingga membuatnya mabuk berat dan berbicara
ngelantur. Lesline tak sadar bahwa dirinya telah dibujuk untuk bergabung dalam
pesta narkoba yang diingatnya hanyalah bersenang-senang melupakan segala hal
yang membuatnya putus asa.
Waktu menunjukan tengah hari, Riani mengantar pulang Lesline
kembali ke rumahnya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kedua mata Riani mendadak
kabur, kepalanya pusing berat, Riani mulai membayangkan ilusi-ilusi aneh dan
“Braaaakkkk!!!....” mobil Riani menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan.
Keadaannya membuat kosentrasinya hilang dan tanpa disadarinya, ia telah
membahayakan nyawanya dan juga temannya Lesline. Mobil ambulans melaju cepat
mengeluarkan bunyi sirine khasnya menembus keruman orang membawa mereka ke
RSUD. Lesline tak sadarkan diri, sakit pada tulang kakinya karena patah
membuatnya tak mampu bertahan untuk membuka matanya, nafasnya terengah-rengah
ada trauma yang mendalam darinya karna melihat temannya terluka parah darah
yang bercucuran dari kepala Riani membuat kotor pakaian putih para suster, secepat
mungkin Riani digelinding ke ruangan UGD. Lesline yang mendapat pertolongan
pertama kembali tersadar. Lesline berusaha beranjak dari tempat tidurnya
berjalan pincang menuju ke ruangan Riani dimana Riani dirawat. Salah seorang
suster mencoba untuk mencegahnya tapi Lesline memaksa. Lesline gelisah dengan
pernyataan dokter yang akan didengarnya. Lesline terkejut mendengar, Lesline
To be continued....
Langganan:
Postingan (Atom)