JANGAN PETIK MAWAR
“Apa yang dapat aku sukai dari setangkai bunga? Mencintai bunga hanya
perlambang lemahnya seorang perempuan. Bunga bukanlah identitasku
sebagai perempuan. Aku menolak mencintai bunga, bukan lantaran aku
membenci keindahan, tetapi bunga selalu membawa misteri baru dalam
hidupku.”
Raka masih tak percaya cintanya tertolak, ia seperti telah kehilangan
kepercayaan dirinya sebagai seorang lelaki. Aku mengenal Raka sebagai
seorang yang santun dan tak banyak bicara. Keberaniannya untuk
menyatakan cinta kepadaku, bisa jadi hal terhebat dalam hidupnya.
Tetapi, aku tak seharga dengan mawar putih yang ia berikan, tidak, meski
mawar putih itu, berbicara padaku soal ketulusan.
Sejak peristiwa penolakanku terhadap Raka, aku semakin yakin, bahwa
perempuan tak perlu takluk di hadapan bunga. Siapa yang berani menjamin
laki-laki baik yang bersamaku sekarang ini, tak akan menjadi laknat di
kemudian hari. Laki-laki itu ya laki-laki, mereka sama saja, dan Raka,
bukan pengecualian atas hal ini, dia mungkin baik, ya, itu karena dia
belum saja terbukti berbuat jahat.
“Mawar, bangun Nak sudah pagi, jangan sampai kamu terlambat ke sekolah!” panggil ayah.
Aku hanya merubah posisi tidurku yang semula menghadap kiri menjadi
ke sisi kanan. Dari posisi ini tak sengaja mataku memandang bingkai foto
di atas meja belajar. Aku melihat seorang perempuan ayu tersenyum di
balik bingkai, dan entah sejak kapan, pipiku telah tergenang air mata.
Aku terduduk, di atas ranjang, mengusap air mata dengan cara khas
seorang anak perempuan. Air mata itu menguar, aromanya menyeduh pekat
masa lalu, membawa hangat perempuan dalam bingkai kaca. Aku telah lupa
kapan terakhir kali aku menangis, yang ku tahu hanya bagaimana cara agar
tak menangis lagi.
Setelah mandi kuturuni tangga satu demi satu menuju ruang makan. Di
bawah aku melihat ayah sudah menungguku sambil membaca Koran, dan,
seorang perempuan yang tak pernah aku harapkan juga duduk disana, di
sebelah ayah.
“Mawar, cepat sini duduk, Papa dan Mama sudah menunggumu dari tadi.” pinta ayah.
Aku mengambil tempat duduk paling ujung, Tanpa banyak bicara, kuambil
nasi dan beberapa lauk, tetapi saat hendak mengambil lauk tiba-tiba
perempuan itu menyodorkan piring berisi telur ceplok setengah matang
kepadaku. Aku memang suka telur ceplok setengah matang, tetapi tidak
dengan keramah-tamahan semacam ini, aku bisa mengambilnya sendiri.
Sejenak kami saling menatap, membaca kebisuan yang terselip di antara
bola mata yang beradu. Perempuan itu mencoba tersenyum kepadaku, tetapi
aku hanya tergerak mengambil telur di piring yang ia sodorkan, kutusuk
dengan garpu, lalu cepat–cepat kupindah ke atas piring makanku. Ayah
melihat lakuku, raut wajahnya tak lagi ramah, aku benci tatapan itu.
“Terimakasih.” Ucapku.
Perempuan itu hanya membalas dengan senyuman. Menyesal rasanya, harus
mengatakan sesuatu yang bukan atas kehendak hati. Tetapi biar, biar
kupuaskan mereka dengan sandiwara ini, toh penonton hanya tahu apa yang
mereka saksikan, susah senang di belakang panggung siapa yang peduli,
mereka itu hanya penikmat kepalsuan, sebuah lakon drama dengan ending
yang mereka pesan.
Ayah adalah seorang yang kaya, juragan sapi potong terpandang di
desa. Sebagai seorang yang kaya dan punya pengaruh di desa, ayah menjadi
incaran berbagai macam partai politik, hingga akhirnya tahun 2009 ayah
pun menerima tawaran bergabung dengan salah satu partai politik.
Setelah menjadi orang partai, ayah sering pulang larut, ketika ibu
bertanya perihal kesibukannya, jawaban ayah selalu sama “ada rapat
penting di partai” dan ibu hanya menerima tanpa protes. Ayah juga punya
kebiasaan baru, yaitu membawa bunga untuk ibu setiap kali pulang kerja,
dan sekali lagi ibu selalu menerima tanpa banyak tanya.
Malam itu ibu jatuh sakit, ibu memang punya jantung lemah sehingga
selama ini ia tak boleh banyak kerja. Sudah menjadi langganan ketika ibu
lelah, ibu akan jatuh pingsan, jika sudah seperti itu, ayah akan lekas
menggendong ibu dan mengistirahatkannya di kamar. Tetapi malam itu, ayah
tak pulang, sakit ibu kambuh, aku yang masih duduk di bangku SMP tak
tahu harus berbuat apa. Jam 12 malam, aku berteriak-teriak minta tolong.
Saat ibu terkulai di lantai, di tangannya aku melihat setangkai mawar
merah digenggam erat ibu, aku mengambil mawar itu, ada secarik kertas
disana dengan tulisan nama, aku pikir itu dari ayah, tetapi nama yang
tertulis disana bukan nama ibu.
Ayah baru menemui ibu esok harinya, ia membawakan bunga lagi untuk
ibu, Tetapi kali ini ibu tak menerimanya. Aku mendekati ibu, aku diam
menggenggam bunga, menabur mawar di atas pusaranya.
Cerpen Karangan: Rio Pamungkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA YA ^^